Jumat, 25 Oktober 2013

PENCERAHAN ISLAM SEPUTAR TELEVISI DAN GAMBAR

Hukum Televisi
Pembahasan Tuntas Mengenai Hukum TV dan Permasalahan-permasalahan Seputarnya
 Disertai Bantahan untuk Syubhat-syubhat yang Lemah
 Tentang Bolehnya TV Masuk Rumah

Ditulis oleh:
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawi
-Semoga Alloh mengampuni dosa-dosanya-
Darul Hadits Dammaj, 29 Dzulqo’dah 1432H
-Semoga Alloh menjaganya dari segala kejelekan-

Muqoddimah Penulis

﴿الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا * قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا

مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا﴾

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده روسوله. صلى الله عليه وعلى أله وأصحابه أجمعين. أما بعد:

Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

«إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرّ وَإِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرمَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ الله مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ الله مَفَاتِيحَ الشَّرعَلَى يَدَيْهِ».

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi kunci-kunci (pembuka) kebaikan dan penutup kejelekan. Dan di antara manusia (juga ada) yang menjadi kunci pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Maka beruntunglah orang yang Alloh jadikan sebagai kunci kebaikan dan penutup kejelekan di tangannya, dan celakalah orang yang Alloh jadikan sebagai pembuka kejelekan dan penutup kebaikan”. (HR Ibnu Majah dan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiyAllohu ‘anhuma, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah: 1332).

Setiap muslim tentunya menginginkan dirinya untuk menjadi kunci kebaikan dan sebagai penutup kejelekan. Namun tidaklah hal tersebut bisa terwujud kecuali jika dia berjalan di atas tuntunan syariat. Sebab kebaikan dan kejelekan, yang mengetahui hakekatnya adalah Pembuat syariat yang mulia ini, bukan perasaan dan hawa nafsu masing-masing pribadi.

Oleh karena itulah, ketika seseorang menghukumi suatu perkara apakah halal atau haram, apakah baik atau buruk, harus kembali kepada syariat Islam yang murni berdasarkan pemahaman salaf, generasi terbaik umat ini. Kapan saja seseorang berpaling darinya, jadilah ia sebagai kunci pembuka kejelekan dan penutup pintu kebaikan, baik dia sadari atau tidak. Apabila dia diikuti dalam kesalahannya ini maka selain mendapat ancaman yang tersebut di dalam hadits di atas dia juga terkena ancaman yang termaktub dalam sabda Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam:

«وَمَنْ سَنَّ في الإسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أوْزَارِهمْ شَيءٌ» رواه مسلم .

“Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara yang jelek dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan dosanya serta dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim: 1017).

Satu perkara pada masa ini yang merupakan salah satu pintu terbesar yang mengantarkan manusia pada berbagai macam kejelekan adalah Televisi. Sebenarnya tidaklah ada seorang pun yang mengingkari bahwa benda ini telah memberikan dampak yang sangat memprihatinkan pada agama dan moral umat manusia. Akan tetapi Iblis beserta para tentaranya, baik dari kalangan jin maupun manusia, berupaya sedemikian rupa untuk menghias-hiasinya sehingga tampaklah pada mata-mata kebanyakan manusia sebagai suatu kebutuhan yang tidak boleh terluputkan.

Hal ini tidak lain karena ketidaktahuan mayoritas mereka tentang hukum-hukum syar’i, ditambah dengan hawa nafsu yang memang telah mendominasi. Oleh karena itu, dengan memohon pertolongan Alloh penulis berusaha untuk memaparkan kepada para pembaca hukum Televisi dan hal-hal yang berhubungan dengannya, berdasarkan dalil-dalil yang shohih disertai fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah pada masa ini. Sebagai bentuk pengamalan firman Alloh:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imron:104)

Perlu diketahui pula bahwa diantara sebab utama penulisan ini adalah sampainya kepada kami pada pertengahan akhir bulan Dzulqo’dah 1432H sebuah rekaman dari ceramah seorang da’i bernama Dzul Qornain yang berisi kutipan fatwa dari gurunya, Ubaid al Jabiri, tentang bolehnya seseorang untuk membeli TV dan memasukkannya ke rumah agar anak-anak orang tersebut tidak keluyuran untuk nonton TV di luar, dengan alasan ‘taqlilusy syar’ (memperkecil kejelekan). Sebuah fatwa yang dikatakan oleh da’i ini sebagai bentuk kebijaksanaan dan bentuk hikmah dalam mengingkari kemungkaran. Namun apakah demikian hakekatnya…? Insya Alloh pembaca akan menemukan jawabannya dalam lembaran-lembaran yang akan datang.

Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan bisa membuka mata orang-orang yang terkecoh dengan fatwa tersebut, dan bisa menjadi pelajaran serta pengokoh orang-orang yang dibuat bimbang karenanya.

Tidak lupa penulis ucapkan Jazahumullohukhoiron kepada seluruh ikhwah yang telah membantu tertulisnya risalah ini;  terutama Akh Abu Sholeh Mushlih dan Akh Ahmad Rifa’i –hafidzohumalloh- yang telah merelakan waktu dan tenaganya untuk membantu mempercepat pengetikan dan pengeditan.

رَبِّ أَعِنِّي وَلَا تُعِنْ عَلَيَّ وَانْصُرْنِي وَلَا تَنْصُرْ عَلَيَّ وَامْكُرْ لِي وَلَا تَمْكُرْ عَلَيَّ,

وَاهْدِنِي وَيَسِّرْ هُدَايَ إِلَيَّ وَانْصُرْنِي عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيَّ,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي لَكَ شَاكِرًا لَكَ ذَاكِرًا لَكَ رَاهِبًا لَكَ مِطْوَاعًا إِلَيْكَ مُخْبِتًا أَوْ مُنِيبًا,

رَبِّ تَقَبَّلْ تَوْبَتِي وَاغْسِلْ حَوْبَتِي وَأَجِبْ دَعْوَتِي,

وَثَبِّتْ حُجَّتِي وَاهْدِ قَلْبِي وَسَدِّدْ لِسَانِي وَاسْلُلْ سَخِيمَةَ قَلْبِي.

Ditulis oleh:
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawi
-Semoga Alloh mengampuni dosa-dosanya-
Darul Hadits, Dammaj, 29 Dzulqo’dah 1432H
-Semoga Alloh menjaganya dari segala kejelekan-
Tamhid
Syariat  Islam Adalah Syariat yang Dibangun di Atas Hikmah dan Mashlahat

Ketahuilah –semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada kita semua- bahwa syariat Islam adalah syariat yang sempurna. Oleh karena itulah Alloh jadikan agama ini sebagai penghapus seluruh agama dan memerintahkan semua manusia untuk tunduk di bawah aturannya.

Tidaklah satu kebaikan pun kecuali telah Alloh jelaskan, baik dalam kitab-Nya atau melalui perantara Rosul yang diutus-Nya. Dan tidaklah satu kejelekan pun kecuali telah diperingatkan manusia darinya. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

«إنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقّاً عَلَيْهِ أنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُم شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ»

“Sesungguhnya tidaklah ada seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang yang diketahuinya, dan memperingatkan manusia dari kejelekan yang diketahuinya. (HR Muslim)

Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk bersyukur karena Alloh telah berikan kepadanya hidayah untuk ber-Islam yang dengannya terbuka pintu untuk bisa meraih kebahagian yang sempurna dan abadi. Selain itu, wajib pula baginya untuk tunduk pada syariat agama yang dipeluknya tersebut sebagai konsekuensi keislaman dan keimanannya. Terlebih lagi ketika diketahui bahwa semua aturan syariat yang mulia ini, yang berupa perintah dan larangan, penghalalan maupun pengharaman, kembali manfaat dan maslahatnya kepada hamba itu sendiri.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulloh berkata: “Jika engkau memperhatikan syariat yang Alloh telah mengutus Rosul-Nya untuk menyampaikannya dengan cermat, engkau akan dapati dari awal sampai akhirnya menunjukkan bahwa (syariat ini dibangun di atas kemaslahatan), engkau akan dapatkan maslahat, hikmah, keadilan,  dan kasih sayang, nampak padanya, yang mendorong akal-akal (yang sehat dan cerdas) untuk mendekatinya. (Sebab) tidaklah pantas bagi Dzat yang Maha Bijaksana untuk memberikan suatu syariat yang merugikan (hamba-hamba Nya). Hal ini dikarenakan Dzat yang menurunkan syariat itu Maha Tahu perkara-perkara yang mengakibatkan kerusakan, kejelekan, kezhaliman dan kepandiran.” (Miftah Daris Sa’adah: 2/263)

Jadi, tidaklah tersisa satu perkara pun baik di masa dahulu maupun sekarang bahkan yang akan datang, kecuali Alloh dan Rosul-Nya telah menentukan hukumnya, baik secara nash maupun istimbath. Sebab Alloh adalah Dzat yang Maha Mengetahui segala sesuatu, tahu semua perkara yang akan muncul dan tidak, serta tahu dampak yang akan ditimbulkannya jika perkara tersebut muncul. Adapun perselisihan yang terjadi dalam menentukan hukum kembali pada kekurangan manusia dalam memahami syariat Alloh dan penjelasan-penjelasan yang disampaikan Rosul-Nya.

Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah mengatakan:

« مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ الله بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ الله عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ »

“Aku tidak meninggalkan satu pun dari perkara-perkara yang Alloh perintahkan kepada kalian, kecuali aku telah memerintahkannya, dan aku tidak meninggalkan satu pun dari perkara-perkara yang Alloh melarang kalian darinya, kecuali aku telah melarangnya.” (HR. Asy-Syafi’i di Ar-Risalah dari Al-Muthollib bin Hanthob dengan sanad hasan)

Hal selanjutnya yang hendaknya diketahui bahwa perintah dan larangan yang dibebankan kepada manusia tidaklah semuanya disenangi oleh jiwa. Sebab jiwa ini memang tabiatnya cenderung pada kejelekan dan menyukai kemalasan.

إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku itu Ghofur (Maha Pengampun) Rohim (Maha Penyanyang). (QS. Yusuf: 53)

Sehingga seorang hamba dituntut untuk bersabar dalam melaksanakan perintah dan dalam menjauhi larangan. Inilah hakekat ujian yang Alloh berikan kepada hamba-hamba-Nya. Sebab, jika semua perintah dan larangan itu mudah dan disenangi jiwa, tidaklah akan diketahui siapa-siapa yang benar-benar bertaqwa dan siapa yang  hanya ‘berdiri di tepi belaka‘ yang apabila terkena goncangan sedikit langsung jatuh dan berbalik arah. Alloh U telah berfirman:

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Maha suci Alloh yang di tangan-Nyalah segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, (Dzat) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia itu Al-Azizul Ghofur (Maha Perkasa dan Maha Pengampun)”. (QS. Al Mulk: 1-2)

Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

«حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ»

“Neraka itu dilingkupi dengan syahwat, dan syurga itu dilingkupi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi”. (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Huroiroh radhiyAllohu ‘anhu)

Dari sinilah hendaknya seorang hamba sadar bahwa semua itu butuh perjuangan dan kesabaran. Perjuangan dalam menundukkan hawa nafsu agar bisa melaksanakan perintah Alloh serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, yang terkadang hal tersebut merupakan perkara yang sangat disenangi, serta kesabaran dalam menjalani pahitnya perpisahan dengan hal-hal yang dicintai apabila hal-hal tersebut merupakan perkara yang dilarang Alloh.

Namun bergembiralah, sebab jika engkau lulus dalam tahapan ini dengan mengharap keridhoan Alloh, maka semua itu akan terasa manis dan kesusahan tersebut akan terlupakan. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

«إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَّا آتَاكَ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ»

“Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena takut kepada Alloh –Tabaroka wa Ta’ala- kecuali akan Alloh datangkan kepadamu (pengganti) yang lebih baik darinya.” (HR Ahmad, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shohihul Musnad: 1489)
BAB I
Hukum Televisi Dalam Timbangan Syar’i

Hukum syar’i terhadap televisi dan alat-alat semisalnya dapat ditinjau dari dua sisi:

Pertama; ditinjau dari sisi benda itu sendiri.

Kedua; ditinjau dari dampak yang disebabkannya.

Adapun dari sisi benda tersebut, maka kita ketahui bahwa TV dan yang sejenisnya merupakan alat untuk menampilkan gambar makhluk yang bernyawa (shuroh[1] ), sehingga bisa dinikmati orang yang melihatnya. Dari sisi ini kita ketahui pula bahwa TV tidaklah terlepas dari gambar makhluk bernyawa, baik gambar tersebut diam maupun bergerak, baik digambar dengan tangan yang dikenal dengan sebutan gambar kartun, maupun dengan kamera atau peralatan untuk menghasilkan gambar yang lain.

Oleh karena itu, para ulama ketika menghukumi TV,  titik sorot mereka adalah pada gambar yang ditampilkan tersebut. Begitu pula sebaliknya, orang-orang yang membolehkan TV, usaha terbesar mereka adalah bagaimana caranya agar gambar yang ditampilkan TV tidak masuk dalam dalil-dalil yang melarang gambar makhluk bernyawa.

Jika seseorang mau membaca kitab-kitab hadits, akan didapati banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkkan kerasnya ancaman terhadap orang-orang yang menggambar makhluk bernyawa, baik itu gambar hewan-hewan atau manusia. Juga akan didapati bahwa gambar yang dihasilkan tersebut adalah haram, wajib untuk dihapus, kecuali pada keadaan darurat yang seseorang tidak mungkin untuk menghindar darinya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sebagian dalil-dalil yang menjelaskan permasalahan ini yang bisa kita kelompokkan menjadi beberapa golongan:

1) Celaan dan laknat bagi orang yang membuat gambar mahluk bernyawa serta ancaman bahwa mereka adalah golongan yang paling keras adzabnya pada hari kiamat.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyAllohu ‘anhu bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

« إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ »

“Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah para penggambar makhluk yang bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Aisyah rodhiyAllohu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam pada suatu hari masuk ke rumahnya dan melihat kain penutup ‘Aisyah bergambar makhluk bernyawa, maka berubahlah raut muka beliau dan mengambil kain tersebut kemudian menyobeknya seraya berkata:

« إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ الله »

“Sesungguhnya diantara manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat-buat sesuatu yang menyerupai makhluk ciptaan Alloh”. (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Abu Juhaifah radhiyAllohu ‘anhu, berkata:

«نَهَى النَّبِيُّ ص عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ, وَثَمَنِ الدَّمِ, وَنَهَى عَنِ الْوَاشِمَةِ وَالْمَوْشُومَةِ, وَآكِلِ الرِّبَا وَمُوكِلِهِ, وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ».

“Nabi telah melarang hasil penjualan anjing dan darah, serta melarang dari membuat tato dan mentatokan diri, dan melarang dari memakan riba serta memberi makan orang berkecimpung dalam riba, (beliau juga) melaknat orang yang menggambar makhluk bernyawa” (HR. Bukhori)
Dari Ibnu Umar radhiyAllohu ‘anhu, bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

«الَّذِينَ يَصْنَعُونَ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ»

“(Orang-orang yang) membuat gambar makhluk bernyawa akan disiksa pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah (gambar-gambar) yang telah kalian ciptakan itu!” (HR. Muslim)

2) Peringatan keras dari Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam agar tidak memasukkan ‘shuroh’ ke dalam rumah
Dari Jabir radhiyAllohu ‘anhu, berkata:

«نَهَى رَسُولُ اللهِ ص عَنِ الصُّورَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ»

“Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah melarang (adanya) gambar makhluk bernyawa di dalam rumah dan melarang dari pembuatannya”. (HR. Tirmidzi, dan dishohihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shohihah: 424)

3) Kemarahan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika melihat ‘shuroh’ dan perintah untuk menghapusnya.
Sebagaimana telah lalu pada hadits ‘Aisyah bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam masuk ke rumahnya dan melihat kain bergambar makhluk bernyawa, maka beliau sangat marah dan menyobeknya dengan serta merta.
Dari Abul Hayyaj Hayyan bin Husain, berkata: Ali bin Abi Tholib ت berkata kepadaku: “Aku akan mengutusmu sebagaimana Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengutusku;

«أن لاَ تَدَعَ صُورَةً إلاَّ طَمَسْتَهَا ، وَلاَ قَبْراً مُشْرفاً إلاَّ سَوَّيْتَهُ».

“Janganlah kau tinggalkan satu gambar pun kecuali kau hapus, dan jangan kau biarkan satu pun kuburan yang ditinggikan, (melebihi kadar yag ditentukan syareat)  kecuali kau ratakan”. (HR. Muslim)

4) Penjelasan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa malaikat tidak akan masuk rumah yang ada ‘shuroh‘ di dalamnya
Dari Abu Huroiroh radhiyAllohu ‘anhu bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

«لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ».

“Malaikat tidak akan masuk rumah yang ada di dalamnya patung atau gambar makhluk bernyawa”. (Muttafaqun ‘alaih)

Inilah sebagian kecil dari sekian banyak dalil yang menunjukkan haramnya ‘Shuroh’.

Imam Nawawi rahimahulloh berkata: “Hadits-hadits ini menunjukkan dengan jelas haramnya menggambar hewan (termasuk manusia).”  Syarh Muslim: 14/ 90]

Beliau juga berkata: “Saudara-saudara kami (dari kalangan Syafi’iyyah), demikian pula para ulama yang lain menyatakan bahwa menggambar hewan (termasuk manusia) hukumnya sangat haram. Perbuatan itu merupakan dosa besar, karena pelakunya diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana termaktub dalam hadits-hadits (yang telah disebutkan di atas-pen). Hukumnya sama saja, apakah gambar itu dibuat dengan sesuatu yang dihinakan atau tidak. Pokoknya pembuatan gambar makhluk bernyawa itu haram, sebab ada padanya unsur (penciptaan sesuatu) menyerupai makhluk yang Alloh ciptakan, baik gambar tersebut ada di baju, tikar, mata uang, atau bejana dan yang selainnya…..” [Syarh Muslim: 14/ 81]

Barangsiapa mencermati dalil-dalil yang telah lalu, dan terbebas dari shubhat dan hawa nafsu, maka dia akan tahu dan yakin bahwa TV merupakan benda yang haram menurut syari’at Islam.

Perlu diingat bahwa hukum ini baru kita petik dari satu faktor saja, yaitu adanya ‘shuroh’ yang ada di layar TV atau alat-alat lain yang sejenis. Lalu bagaimana jika ditambah dengan faktor lainnya yang berupa kemungkaran nyata yang didapati oleh orang yang melihat TV ?!!!
Syubhat-Syubhat dan Jawabannya

Syubhat Pertama

Mungkin seseorang –yang pada dirinya ada penyakit- akan menyangkal: “Gambar yang ada di TV itu tidaklah masuk dalam hadits-hadits tentang larangan ‘shuroh’ karena yang dilarang itu bila digambar dengan tangan, adapun ‘shuroh’ yang dihasilkan kamera atau alat yang semisalnya tidaklah demikian.”
JAWAB:

Syubhat ini sangatlah jelas kebatilannya.  Sebab dalam hadits-hadits terdahulu sama sekali tidak menyinggung bahwa ‘shuroh’ yang dilarang itu jika digambar dengan cara begini atau begitu, bahkan lafadz hadits-hadits tersebut umum mencakup semua gambar makhluk yang bernyawa. Bahkan pada hadits Aisyah dan Abi Huroiroh sangatlah jelas bahwa sebab utama diharamkannya ‘shuroh’ adalah karena adanya unsur (penciptaan sesuatu) menyerupai makhluk yang Alloh ciptakan, sehingga seakan-akan orang yang menggambar itu menjadikan dirinya tandingan bagi Alloh dalam penciptaan. Oleh karena itulah hukuman yang diberikan pada mereka sejenis dengan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Diriwayatkan dari Abu Huroiroh rodhiyAllohu ‘anhu, bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda dalam hadits qudsy :

«قال اللهُ تَعَالَى: وَمَنْ أظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي؟! فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً أوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً، أوْ لِيَخْلُقُوا شَعِيرَةً ». متفق عليه .

“Alloh berfirman: Adakah yang lebih dzolim dari orang yang coba-coba menciptakan (makhluk) seperti yang Aku ciptakan?!  (Kalau memang bisa) ciptakanlah semut atau biji-bijian atau ciptakanlah gandum!!” (Muttafaqun ‘alaih)

Selain itu, kamera atau alat sejenisnya yang digunakan untuk membuat ‘shuroh’ pada hakekatnya tidaklah luput dari tangan manusia, mulai dari pembuatannya sampai pada pengoperasiannya. Jadi apa bedanya dengan gambar yang dibuat tangan?!! Bahkan pembuatan gambar dengan alat lebih parah kerusakannya dari beberapa sisi:
Pembuatan ‘shuroh’ dengan alat-alat tersebut lebih mudah dan memungkinkan siapa saja untuk melakukannya, berbeda dengan gambar tangan yang terbatas pada orang-orang tertentu.
Gambar yang dihasilkan dengan alat lebih besar fitnah dan kerusakan yang ditimbulkan, karena bagus dan mudah serta cepat penyebarannya.
Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah
seputar permasalahan ini

Syaikh Ibnu Baz rahimahulloh ditanya: “Apakah TV itu masuk dalam hukum ‘shuroh’ yang dilarang? Atau yang diharamkan terbatas pada acara-acara buruk yang ada padanya?

Beliau menjawab: “Setiap gambar makhluk yang bernyawa itu haram!!” (Al ibroz li aqwalil ulama fi hukmi At-tilvaz).

Syaikh Sholeh Fauzan hafidzahulloh ketika menjelaskan hadits:

«كلُّ مصوِّرٍ في النّار، يُجعل له بكلّ صورة صوّرها نفسٌ يعذّب بها في جهنّم»

“Setiap orang yang menggambar (makhluk bernyawa akan masuk) neraka. Gambar-gambar yang telah mereka buat itu akan dijadikan bernyawa sehingga menyiksa mereka di Jahannam”.

Beliau berkata: “(Sabda beliau ini) juga umum mencakup seluruh gambar makhluk yang bernyawa, baik itu dihasilkan dengan digambar atau dipahat atau dengan memencet alat. Perbedaannya hanyalah bahwa pengguna alat lebih cepat kerjanya daripada orang yang menggambar (dengan tangan), adapun hasilnya sama, masing-masing mereka menginginkan untuk menghasilkan ‘shuroh’.

Orang yang mengukir atau membikin patung tujuannya terciptanya ‘shuroh’. Orang yang melukis tujuannya juga ‘shuroh’. Orang yang memotret dengan kamera tujuannya juga ‘shuroh’. Lalu, kenapa kita membedakan-bedakan mereka??! Padahal Rosul ص telah bersabda:

«كلُّ مصوِّرٍ في النّار«

“Semua orang yang menggambar makhluk bernyawa di neraka”?!.

(Mereka) tidaklah punya  dalil kecuali falsafat yang mereka buat-buat dan teori-teori yang mereka ada-adakan. Mereka ingin membatasi cakupan makna sabda Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam (di atas) dengan kepala mereka….(Padahal) merupakan suatu perkara yang dimaklumi bahwa perkataan Alloh dan Rosul-Nya tidaklah boleh dibatasi cakupan maknanya kecuali dengan dalil dari perkataan Alloh dan Rosul-nya juga. Bukan dengan ijtihad atau teori-teori buatan manusia. (I’anatul Mustafid: 2/ 369)
Syubhat Kedua

“Gambar yang dihasilkan dengan kamera atau alat yang semisalnya ibarat seperti fotokopy. Bukankah kalau seseorang memfotokopi suatu tulisan, hasil fotokopinya itu tetap dikatakan bahwa itu tulisan penulisnya bukan tulisan tukang fotokopy? Demikian pula orang yang memfoto mahluk bernyawa dengan kamera atau menyotingnya, bukankah gambar yang dihasilkan itu adalah ciptaan Alloh?!!

JAWAB:

Syubhat ini kita jawab dari dua sisi:

Pertama: Memang benar bahwa hasil fotokopy itu adalah tulisan si penulis. Akan tetapi perbuatan memfotokopy bukanlah perbuatan  penulis. Oleh karena itu kalau dikatakan: “Lembaran ini tulisan si A atau fotokopinya?” Maka semua sepakat untuk menjawab bahwa itu adalah kopian-nya. Dan inilah yang dinamakan ‘mudhohah’, yaitu membuat sesuatu yang menyerupai aslinya, yang hal ini merupakan sebab utama diharamkannya ‘shuroh’ sebagaimana pada penjelasan yang telah lalu.

Kedua: Adanya kerancuan orang yang beralasan dengan syubhat ini pada permasalahan: ketika seseorang memotret patung manusia atau memfoto gambar hewan yang dilukis dengan tangan. Sebab mereka mengatakan bahwa hal ini haram, sebagaimana kita juga mengatakannya.

Maka kita katakan pada mereka: “Pernyataan kalian ini membantah syubhat kalian sendiri, kenapa kalian bedakan antara ini dan itu, padahal kalau kalian konsekuen dengan kaedah kalian, harusnya kalian menjawab:  “Foto patung atau foto gambar makhluk yang bernyawa yang dilukis dengan tangan itu tidaklah haram, karena patung dan gambar yang difoto itu adalah hasil perbuatan ‘si pembikin patung’ atau ‘si tukang lukis’ bukan bikinan tukang foto.”

Beginilah jadinya kalau menyelisihi syariat Alloh, perkataan yang satu akan dipatahkan sendiri dengan perkataannya yang lain. Alloh subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً

“Apakah mereka tidak men-tadaburi Al Quran? kalau kiranya (Al Quran itu) bukan dari sisi Allah, tentulah mereka akan mendapati  pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa’: 82)

Syubhat Ketiga:

‘Shuroh’ yang dilarang adalah ‘shuroh’ yang diam, seperti foto dan yang sejenisnya, adapun ‘shuroh’ yang bergerak seperti ‘shuroh’ yang ada di layar TV atau yang sejenisnya tidaklah haram. Sebab ‘shuroh’ yang bergerak  itu sama seperti bayangan yang ada di cermin, yang semua sepakat bahwa bayangan tersebut tidaklah masuk dalam dalil-dalil yang mengharamkan ‘shuroh’.
JAWAB:

Perlu diketahui bahwa para pemilik syubhat ini sepakat dengan kita bahwa ‘shuroh’ yang diam yang dihasilkan oleh kamera foto adalah haram. Hal ini akan memudahkan kita untuk merobohkan syubhat mereka tersebut. Syubhat yang satu ini dapat dijawab melalui beberapa sisi:
Jika kalian mengakui bahwa ‘shuroh’ yang diam itu haram, maka seharusnya ‘shuroh’ yang bergerak itu lebih berhak untuk diharamkan dengan alasan: bahwa unsur ‘mudhohah’ (pembuatan sesuatu yang menyerupai makhluk ciptaan Alloh) yang merupakan sebab utama diharamkannya shuroh, ada pada ‘shuroh’ yang bergerak, bahkan unsur ini lebih nyata terlihat padanya. Sebab pada ‘shuroh’ yang bergerak selain ada penyerupaan bentuk dan tampilan juga ada penyerupaan gerak-gerik. Tentunya yang seperti ini lebih parah dan lebih layak untuk diharamkan.
Alasan mereka bahwa ‘shuroh’ yang ada di layar TV itu seperti bayangan yang ada di cermin tidaklah bisa diterima, sebab antara keduanya sangat banyak perbedaannya. Jika keduanya di-qiyas-kan maka qiyas yang dihasilkan adalah ‘qiyas batil’ atau disebut pula qiyas ma’al fariq, yang para ulama sepakat bahwa qiyas yang seperti ini tidak bisa dijadikan hujah. Diantara perbedaan-perbedaan tersebut adalah:

a) Bayangan yang dicermin tidak tetap dan tidak ada bekasnya. Ketika orang yang bercermin itu pergi, bayangannya pun akan pergi juga. Berbeda dengan ‘shuroh’ yang dihasilkan kamera video yang bisa disimpan bertahun-tahun dan bisa dimunculkan seaktu-waktu.

b) Orang yang bercermin, tidak ada satu orang berakal pun yang mengatakan bahwa dia telah menggambar atau memotret dirinya, berbeda dengan orang yang berdiri di depan kamera foto atau video.

c) Pada cermin dan benda-benda mengkilat lainnya, tidaklah ada usaha manusia sama sekali untuk memunculkan bayangan, karena memang itu adalah sifat yang Alloh berikan pada benda-benda tersebut. Berbeda dengan kamera dan alat sejenisnya yang membutuhkan usaha dan pikiran manusia.

d) Sifat bayangan yang ada di cermin berkebalikan dengan aslinya, berbeda dengan ‘shuroh’ yang dihasilkan kamera yang sama dari segala sisinya

e) ‘Shuroh’ yang dihasilkan kamera tidaklah mungkin terwujud kecuali jika  terkumpul padanya empat unsur: makhluk yang difoto / shooting, orang yang men-shooting, alat untuk shooting, dan proses penyotingan. Berbeda dengan bayangan cermin yang cukup dengan mencari cermin atau benda lainnya yang mengkilat kemudian berdiri di depannya.

f) Cermin telah ada pada zaman Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam  dan diperbolehkan, berbeda dengan ‘shuroh’ yang mereka perjuangkan.

g) Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah membedakan antara hukum bayangan yang ada di cermin dengan ‘shuroh’ yang dibuat manusia.

Inilah sebagian perbedaan yang kalau seseorang mau berpikir dengan pikiran jernih dan bebas dari hawa nafsu pasti akan yakin bahwa ‘shuroh’ bergerak yang ada di layar TV itu lebih berhak untuk dimasukkan ke dalam hukum ‘shuroh’ yang diharamkan, karena adanya unsur-unsur persamaan yang banyak pada keduanya, daripada dimasukkan ke dalam hukum ‘bayangan cermin’ yang telah lewat perbedaan yang nyata antara keduanya.
BAB II
Hukum TV ditinjau dari dampak yang ditimbulkannya

Merupakan hal yang diketahui bersama bahwa TV telah memberikan dampak negatif yang luar biasa pada manusia umumnya dan umat Islam pada khususnya. Mulai dari sisi aqidah, ibadah, akhlak sampai pada adat dan mu’amalah. Tidaklah ada seorang pun yang masih berakal sehat mengingkari kenyataan ini.

Ibnul Qoyyim rahimahulloh mengatakan:

القاعدة الثالثة: إذا أشكل على الناظر أو السالك حكم شيء؛ هل هو الإباحة أو التحريم فلينظر إلى مفسدته وثمرته وغايته, فإن كان مشتملا على مفسدة راجحة ظاهرة فإنه يستحيل على الشارع الأمر به أو إباحته, بل العلم بتحريمه من شرعه قطعي, ولا سيما إذا كان طريقا مفضيا إلى ما يغضب الله ورسوله موصلا إليه عن قرب…فهذا لا يشك في تحريمه أولو البصائر.

“Kaedah ketiga: Jika seseorang kebingungan dalam menentukan hukum suatu perkara, apakah halal atau haram, maka lihatlah kerusakan dan buahnya serta hasil akhirnya. Jika perkara tersebut mengandung kerusakan yang lebih banyak dan jelas, maka tidaklah mungkin Dzat Pembuat syari’at memerintahkan atau membolehkannya. Bahkan dapat dipastikan bahwa hukumnya itu haram secara syar’i. Terlebih lagi jika perkara tersebut merupakan jalan yang menjerumuskan ke dalam perkara-perkara yang dimurkai oleh Alloh dan Rosul-Nya serta mengantarkan kepadanya dalam jangka pendek….maka orang-orang yang memiliki bashiroh (ilmu) tidaklah akan ragu bahwa perkara yang seperti ini haram hukumnya.” (Madarijussalikin: 1/496)

Oleh karena itu marilah kita tengok sebentar dampak-dampak buruk yang ditimbulkan TV dan alat-alat sejenisnya, agar kita semakin yakin bahwa perkakas yang seperti ini tidaklah pantas bagi seorang muslim untuk memilikinya. Diantara dampak-dampak buruk itu adalah sebagai berikut:

Pertama: Tersebarnya perkataan, tingkah laku dan gaya-gaya pakaian serta perayaan-perayaan orang kafir dan lain-lainnya di kalangan kaum muslimin melalui televisi dan peralatan yang sejenisnya, yang mengakibatkan lemahnya al-wala’ dan baro’ pada mayoritas muslimin, sebagaimana yang disaksikan bersama.

Kedua: Tersebarnya gambar-gambar para wanita yang memfitnah di kalangan kaum muslimin yang hal ini telah mengakibatkan banyak sekali kerusakan akhlak pada generasi muda maupun tuanya. Di sisi lain para muslimah pun terpengaruh dengan gaya hidup para wanita kafir tersebut.

Ketiga: Tersebarnya kisah-kisah percintaan, pencurian dan kejahatan yang memberikan dampak buruk pada tingkah laku kaum muslimin terutama generasi muda mereka.

Keempat: Tersebarnya musik yang diharamkan oleh syari’ah.

Kelima: Tersebarnya berbagai macam perkara yang melalaikan kaum muslimin dari kewajibannya. Sebagai contohnya sholat lima waktu, kalau sudah duduk di depan TV maka sholat pun terlupakan.

Keenam: Jauhnya kaum muslimin dari ajaran agamanya. Sehingga mayoritas mereka hanya mengenal Islam sekedar warisan dari orang tua-orang tua mereka, dan sekedar tulisan yang ada di KTP. Hasbunalloh wa ni’mal Wakiil.

Inilah secara global dampak-dampak yang ada. Selain itu masih banyak lagi dampak buruk lainnya yang disaksikan bersama, sehingga dengannya semakin kuat keyakinan kita bahwa televisi dan alat sejenisnya hukumnya haram menurut syari’ah Islamiyyah.

Kemudian ketahuilah wahai saudaraku, bahwa TV beserta acara-acara yang ada di dalamnya tidaklah diciptakan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Bahkan sebaliknya, semua itu didatangkan sebagai senjata dalam perang gaya baru mereka, yang dikenal sebagai ‘ghozwul fikri’ untuk melemahkan muslimin dan menjauhkan mereka dari agamanya. Sehingga dengannya kaum muslimin sibuk dalam kemaksiatan dan perkara-perkara yang Alloh murkai, yang dengan inilah kaum muslimin bisa dihancurkan.

Semoga Alloh memberikan hidayah serta taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa mengetahui kebenaran dan memegangnya. Juga untuk bisa mengetahui kejelekan dan meninggalkannya.

Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah
seputar permasalahan ini

Syaikh Al-Albaniy rahimahulloh ditanya:

“Adanya televisi pada zaman ini di rumah-rumah, apakah halal atau haram?”

Beliau menjawab: “Hal itu tidak boleh! Aku katakan kepada kalian, maukah salah seorang diantara kalian melihat TV? Jika mau silakan lihat, jika tidak mau terserah kalian, kalian boleh memilih!! Jika ada yang mau melihatnya, kabarkan kepadaku, apakah kebaikannya itu lebih banyak atau kejelekannya?”

Si penanya mengatakan: “Kejelekannya tentu lebih banyak.”

Beliau pun menjawab: “Jika demikian, tentunya tidak boleh dibiarkan di rumah.” (Kaset Adabul Majlis, dikutip dari ‘Al-Ijhaz’: 7)

Beliau juga berkata pada majelis yang lain:

“Barang tersebut tidak mungkin ada di rumah seorang muslim, kecuali digunakan untuk perkara-perkara yang diharamkan Alloh, karena dahsyatnya fitnah yang ditimbulkannya. Saya secara pribadi berkeyakinan bahwa televisi adalah alat yang paling dahsyat dan berbahaya fitnahnya serta paling banyak kerusakannya. Alat ini juga merupakan alat yang paling banyak melalaikan seorang muslim dari menunaikan kewajiban-kewajibannya.” (Kaset ke-42 dari ‘Silsilah Huda wan Nur‘)

Syaikh Muqbil rahimahulloh mengatakan:

“Di dalam TV juga ada pemikiran-pemikiran yang buruk dampaknya bagi keluarga. Kamu tidak tahu tiba-tiba istrimu merendahkanmu. Dari TV-lah anak-anak mengetahui bagaimana cara-cara mencuri. Aku dikabari bahwa seorang pencuri tertangkap. Dia berasal dari Thoif dan dikatakan kepadanya: “Bagaimana kamu melakukannya?” Dia menjawab: “Aku naik ke loteng dan masuk melalui jendela terus ke kamar mandi.” Orang-orang bertanya: “Dari mana kamu tahu hal seperti itu?” Dia menjawab: “Aku melihat mereka melakukan yang seperti itu di TV.” Jadi pencuri ini mengetahui cara-cara mencuri dari TV. (Al-Mushoro’ah: 204)
BAB III
Hukum Menonton Televisi

Setelah kita ketahui bahwa gambar yang ada di layar TV itu haram, mungkin seseorang berkata bahwa yang diharamkan adalah pembuatan ‘shuroh’, adapun melihat ‘shuroh’ yang telah ada tidaklah mengapa. Si pembuat ‘shuroh’-lah yang berdosa bukan orang yang menonton dan menikmati hasilnya.

Ketahuilah -semoga Alloh memberikan hidayah kepada kita semua- bahwa hukum-hukum yang berkenaan dengan permasalahan ‘shuroh’ terbagi menjadi dua:

Pertama; hukum yang berkaitan dengan pembuatannya, maka sangatlah jelas bahwa perbuatan ini adalah dosa besar sebagaimana telah lalu penjelasannya.

Kedua; hukum yang berkenaan dengan penggunaan ‘shuroh’, baik itu dengan menyimpannya atau menontonnya, maka hal ini hukumnya adalah haram berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
Penjelasan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa adanya ‘shuroh’ menghalangi datangnya malaikat.
Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam  sangat marah ketika melihat ‘shuroh’ di rumah beliau.
Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam  menyobek ‘shuroh’ dengan penuh marah.
Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam    memerintahkan untuk menghapus semua ‘shuroh’ .
Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam  memperingatkan dengan keras dari ‘shuroh’.

Hadits-hadits yang menunjukkan hal tersebut telah lewat pada pembahasan terdahulu yang dengan semua ini sangatlah jelas bahwa memasukkan ‘shuroh’ ataupun TV dan alat-alat yang semisalnya merupakan bentuk penyelisihan terhadap dalil-dalil tersebut.

Adapun perkataan mereka bahwa yang melihat shuroh itu tidak berdosa sangatlah jelas kebatilannya. Sebab Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah memerintahkan untuk menghapus semua ‘shuroh’ yang didapati sebagaimana hadits:

«أن لاَ تَدَعَ صُورَةً إلاَّ طَمَسْتَهَا ، وَلاَ قَبْراً مُشْرفاً إلاَّ سَوَّيْتَهُ».

“Janganlah kau tinggalkan satu gambar pun kecuali kau hapus, dan jangan kau biarkan satu pun kuburan yang ditinggikan, (melebihi kadar yag ditentukan syareat)  kecuali kau ratakan”. (HR. Muslim dari ‘Ali bin Abi Tholib)

Dari hadits ini jelas bahwa menghapus shuroh yang dilihat adalah suatu kewajiban. Jika seseorang melihat dan membiarkannya serta menyetujui keberadaannya berarti telah meninggalkan perintah ini yang dia berdosa karenanya.
Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah
seputar permasalahan ini:
Syaikh Abdul ‘Aziz Ar-Rojihi hafidzhahulloh berkata:

«والراضي كالفاعل، من رضي بالصورة، حكمه حكم الفاعل».

“Dan orang yang ridho (terhadap suatu perkara atau perbuatan, hukumnya) seperti orang yang melakukannya. Siapa saja yang ridho dengan ‘shuroh’ hukumnya hukum pembuatnya”. (Fatwa-fatwa Syaikh Ar Rojihi: 1 / 343)
Syaikh Al-Albani rahimahulloh berkata:

“Barang tersebut tidak mungkin ada di rumah seorang muslim, kecuali digunakan untuk perkara-perkara yang diharamkan Alloh, karena dahsyatnya fitnah yang ditimbulkannya. Saya secara pribadi berkeyakinan bahwa televisi adalah alat yang paling dahsyat dan berbahaya fitnahnya serta paling banyak kerusakannya. Alat ini juga merupakan alat yang paling banyak melalaikan seorang muslim dari menunaikan kewajiban-kewajibannya.” (Kaset ke-42 dari ‘Silsilah Huda wan Nur‘)
Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahulloh ditanya:

“Apa hukum mempergunakan TV dan menontonnya untuk mengetahui berita?”

Beliau menjawab:

“Tidak boleh, karena adanya shuroh. Juga karena perkara-perkara yang ada di dalamnya, yang berupa kerusakan dan kefasikan serta adanya pembelajaran cara-cara mencuri. Nabi ص telah mengatakan:

«لا تدخل الملائكة بيتًا فيه كلب ولا صورة».

“Malaikat tidak akan masuk rumah yang ada di dalamnya anjing dan gambar makhluk yang bernyawa”

Ketika beliau ingin masuk ke kamar ‘Aisyah dan mendapatinya kain penutup yang ada gambarnya, beliau berkata:

« إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هَذِهِ الصُّوَرِ »

“Sesungguhnya diantara manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menggambar gambar-gambar ini”.

Kemudian beliau menyobek kain tersebut.

Dan telah diriwayatkan di Shohihain dari Abu Huroiroh ت bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

«يقول اللهُ تَعَالَى: وَمَنْ أظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي؟! فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً أوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً، أوْ لِيَخْلُقُوا شَعِيرَةً ». متفق عليه .

“Alloh berfirman: Adakah yang lebih dzolim dari orang yang coba-coba menciptakan (makhluk) seperti yang Aku ciptakan?!  (Kalau memang bisa) ciptakanlah semut atau biji-bijian atau ciptakanlah gandum!!”

Dengan TV, laki-laki (yang menonton tentu) akan melihat perempuan ketika perempuan tadi menyampaikan berita, padahal Alloh telah berfirman:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (QS. An Nuur:30)

Atau jika penyiarnya laki-laki, maka perempuanlah yang melihatnya. Alloh telah berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An Nuur:30)

Sesungguhnya sangatlah  mungkin bagi seseorang untuk membeli radio dan mendengarkan berita dengannya. Alhamdulillah.” (Tuhfatul Mujib: 270)

BAB IV
Hukum  Perkara-perkara yang Berhubungan dengan TV

(1) Hukum sandiwara dan film Islami.

Sebenarnya, jika penjelasan yang terdahulu telah difahami, tentu seseorang akan sangat mudah menentukan hukum dalam permasalahan ini. Akan tetapi terkadang sebagian manusia terkecoh dengan embel-embel ‘Islami’ yang diletakkan untuk mengaburkan hakekat permasalahan yang sesungguhnya. Demikian pula dengan sandiwara dan film atau perkara lain yang sejenisnya seperti; opera, drama, dan sinetron, dan lain-lain. Ketika ditambah label Islam padanya, seakan-akan semua kebatilan yang ada tertutup dan menjadi sesuatu yang indah. Bahkan sebagian orang mengatakannya sebagai alat untuk berdakwah. Oleh karena itu, marilah kita melihat dengan kacamata syar’i hukum permasalahan ini:

Pertama: Dilihat dari Sejarah Munculnya Sandiwara.

Asal sandiwara atau drama dari orang-orang Nashrani dan para penyembah berhala, baik dalam kemunculannya yang awal maupun kemunculannya pada periode terakhir ini.

Adapun kemunculannya yang pertama kali, sandiwara berasal dari orang Yunani penyembah berhala. Kemudian diadopsi oleh orang-orang Nashrani dan dijadikan sebagai acara tersendiri dalam peribadatan di gereja-gereja mereka. Setelah itu sandiwara ini pun tersebar di kalangan manusia dan diterima oleh umat-umat yang lain.

Adapun pada periode pertumbuhannya di masa terakhir ini, sandiwara muncul pertama kali di Eropa, kemudian sampai ke pangkuan kaum muslimin melalui perantara seorang Nashrani dari Lebanon bernama Maron Nicos. Dialah orang yang pertama kali membuat sandiwara dengan bahasa Arab pada tahun 1840 H. Akhirnya manusia pun berebutan menyambutnya dan tersebarlah sandiwara di kalangan kaum muslimin. Wallohul musta’an. (At-Tamtsil, Haqiqotuhu, Tarikhuhu, hukmuhu: 18)

Jika kita telah tahu bahwa sandiwara ini berasal dari orang kafir, bararti pengadopsiannya merupakan tasyabbuh terhadap mereka. Padahal Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

« مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ«

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar ب dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohihul Jami’: 2831)

Syaikhul Islam rahimahulloh berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa kemungkinan terkecil dari hukum tasyabbuh adalah haram, walaupun secara dhohirnya menunjukkan kafirnya orang-orang yang tasyabbuh kepada orang-orang kafir. Sebagaimana firman Alloh:

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Barangsiapa diantara kalian memberikan loyalitas (wala’) kepada mereka (orang-oramg Yahudi dan Nashrani), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Maidah: 51). (Iqtidho’ Shirothol Mustaqim: 1/83)

Ibnu Katsir rahimahulloh berkata: “Pada hadits ini terdapat dalil tentang pelarangan keras dan kecaman serta ancaman dari perbuatan menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh) baik itu dalam perkataan, tingkah laku, pakaian, hari raya, dan cara peribadatan mereka serta perkara-perkara lainnya yang tidak disyari’atkan kepada kita dan tidak disetujui keberadaanya (dalam agama kita).” (Tafsir Ibnu Katsir).

Kedua: Dilihat dari Kemungkaran yang Ada Pada Sandiwara dan Film atau Acara-acara Lainnya yang Sejenis.
Adanya ikhthilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Padahal perkara ini sangat jelas larangannya dalam syari’at Islam.
Pada sandiwara atau yang sejenis dengannya terdapat kedustaan yang nyata. Sebab seseorang menyatakan dirinya sebagai suami si A, yang lain sebagai istri si B padahal bukan. Atau yang lainnya mengisahkan tentang seseorang bahwa dia melakukan ini dan itu, padahal tidak. Bahkan kebanyakan dari cerita itu adalah kisah-kisah khayalan yang sama sekali tidak ada wujudnya di alam nyata. Ini semua adalah kedustaan yang diharamkan oleh Islam walaupun sekedar ‘main-main’. Terlebih lagi jika serius.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa dia berkata:

«إِنَّ الْكَذِبَ لَا يَصْلُحُ مِنْهُ جِدٌّ وَلَا هَزْلٌ, وَإِنَّ مُحَمَّدًا ص قَالَ لَنَا: «لَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ الله صِدِّيقًا وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ الله كَذَّابًا».

“Sesungguhnya berdusta itu tidak boleh, baik itu dalam keadaan bersungguh-sungguh atau sekedar main-main. Sesungguhnya aku mendengar Muhammad ص berkata: “Seseorang akan senantiasa berkata jujur sampai ditulis di sisi Alloh sebagai orang jujur, dan seseorang senantiasa berdusta sampai ditulis di sisi Alloh sebagai pendusta.” (HR. Ahmad dengan lafadz ini dan asal haditsnya ada di Shohihain. Hadits ini dishahihkan Syaikh Al-albani dalam ‘Adh-Dho’ifah:  13/ 709)
Apabila kisah yang ditampilkan itu benar-benar terjadi, maka muncul kemungkaran lain yang berupa ghibah, sebagaimana sabda Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam:

«أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ؟» قالوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ: «ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ» قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ: «إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ ، فقد اغْتَبْتَهُ ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ».

“Tahukah kalian apa ghibah itu?” Para shahabat menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya-lah yang mengetahuinya.” Beliau berkata lagi: “Ghibah adalah menyebutkan saudara kalian dengan perkara-perkara yang tidak dia sukai.” Dikatakan pada beliau: “Lalu bagaimana jika yang dikatakan itu benar-benar ada pada saudaraku?” Beliau menjawab: “Jika yang kamu katakan memang ada padanya, itulah yang disebut ghibah. Adapun jika tidak ada, berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR. Muslim: 2579 dari abu Huroiroh radhiyAllohu ‘anhu)

Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam juga telah bersabda dalam hadits ‘Aisyah ketika ‘Aisyah menceritakan perbuatan seseorang dan menirukan gerak-geriknya. Beliau bersabda:

«مَا أُحِبُّ أنِّي حَكَيْتُ إنْساناً وإنَّ لِي كَذَا وَكَذَا»

“Aku tidaklah suka untuk menirukan gerak-gerik seseorang bahwa aku ini begini dan begitu.” (HR. Abu Dawud dan dishohihkan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad: 1594)
Apabila dalam sandiwara atau film tersebut diperagakan perbuatan-perbuatan yang haram atau bahkan perbuatan kekafiran seperti menyembah raja atau berhala, maka ini adalah perbuatan yang sangat terlarang. Bahkan bisa sampai ke derajat kekafiran. Sebab sandiwara atau film bukanlah perkara yang seseorang diberikan udzur untuk melakukan perbuatan-perbuatan haram tersebut.

Inilah hakekat yang ada pada sandiwara atau drama atau sebutan-sebutan lainnya yang semakna. Kemungkaran tersebut akan semakin besar bila adegan demi adegan yang ada difoto dengan kamera video sehingga menjadi film. Sebab selain kemungkaran yang tersebut di atas, juga terkena dalil-dalil yang melarang shuroh sebagaimana yang telah lalu penjelasannya. Dan pembahasan kita adalah tentang sandiwara atau film-film yang dikatakan Islami, yang kemungkarannya tentu masih jauh lebih ringan daripada film-film lainnya yang sudah tidak terikat lagi dengan tatanan kemanusiaan. Janganlah terperdaya dengan embel-embel Islami yang ada padanya, sebab Islam tidaklah mengenal sandiwara dan Islam berlepas diri darinya.

Jika seseorang atau kelompok tertentu menjadikannya sebagai sarana dakwah, maka dengannya ada tambahan satu kemungkaran besar yang Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam berulang kali memperingatkan umat darinya dalam khutbah-khutbah beliau. Beliau bersabda:

«أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى الله, وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا, فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ, تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Alloh dan mendengar serta patuh walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari negeri Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya barangsiapa yang hidup dari kalian nanti, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur-roshidun al-mahdiyun. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah dengan perkara-perkara yang diada-adakan karena seluruh perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat” (HR. Tirmidzi dari ‘Irbadh bin Sariyah dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam As-Shohihul-Musnad : 921).

Imam Asy-Syathiby t mengatakan: “Setiap perkara agama yang tidak ada pada masa para salafush sholih tidaklah termasuk bagian dari agama ini, karena mereka lebih bersemangat dalam kebaikan daripada orang-orang yang datang kemudian. Kalaulah dalam perkara-perkara bid’ah itu ada kebaikan niscaya mereka akan melakukannya. Alloh subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ﴾ [المائدة:3]

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian.” [Fatwa Asy-Syathiby hal. 250]

(2)  Hukum gambar dan film kartun.

Para pengikut hawa nafsu memang tidak pernah lelah dalam usaha menjauhkan muslimin dari agamanya. Setelah banyak yang terjatuh dalam jeratan mereka melalui film-film yang tidak lagi terikat dengan etika dan norma-norma yang ada, merekapun ingin agar anak-anak kaum muslimin jatuh dan rusak seperti mereka. Diantara bentuk usaha mereka adalah dengan diciptakannya film kartun yang secara lahirnya sekedar hiburan, namun di balik itu ada kemungkaran yang sangat besar.

Namun anehnya, ‘senjata penghancur generasi muda ini‘ malah disambut dengan gembira bahkan sebagian kelompok menganggapnya sebagai sarana untuk mendidik anak-anak dan diberikan padanya lebel Islami.

Sebagai seorang muslim sudah sepatutnya untuk mengetahui hukum syar’i perkara ini sehingga tidak terkecoh dengan orasi para penipu berwajah da’i. Berikut ini penjelasan tentang film kartun ini secara terperinci:
Gambar dan film kartun masuk dalam hukum shuroh yang telah jelas pada pembahasan terdahulu keharamannya.
Gambar dan film kartun masuk dalam keumuman hukum film, bahkan lebih parah. Sebab ada padanya unsur pelecehan terhadap makhluk ciptaan Alloh yang saya kira tidak ada seorang pun ridho untuk digambar dengan model kartun.
Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah
seputar permasalahan ini:
Al-lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts wal Ifta’ (Lembaga Penelitian Ilmiah dan Fatwa) telah ditanya mengenai permasalahan ini yang bunyinya sebagai berikut:

“Apa hukum menyaksikan dan membeli ‘film-film kartun Islami’? Film tersebut menampilkan kisah-kisah yang bermanfaat bagi anak-anak seperti penganjuran untuk berbakti kepada orang tua, jujur, amanah dan pentingnya sholat serta ajaran-ajaran lainnya. Film ini ditujukan sebagai pengganti televisi yang kemungkarannya telah merata. Akan tetapi yang menimbulkan kerancuan adalah adanya gambar-gambar manusia serta hewan yang digambar dengan tangan. Apakah yang seperti ini boleh untuk disaksikan?”

Setelah melalui penelitian yang dilakukan oleh lembaga ini, mereka menjawab:

“Tidak boleh melakukan penjualan maupun pembelian serta penggunaan film-film kartun, dikarenakan adanya gambar-gambar yang haram padanya. Pendidikan anak-anak hendaknya dilakukan dengan cara yang syar’i berupa pengajaran dan pemberian adab serta memerintahkan mereka untuk sholat dan mengasuhnya dengan cara yang bijaksana. Semoga Alloh memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.”

(Ketua: Abdul Aziz bin Abdulloh bin Bazz, wakil: Abdul Aziz Alu Syaikh, anggota: Sholeh Fauzan dan Bakr bin Abdulloh Abu Zaid. Fatwa no. 19933, tertanggal: 9-11-1418).

(3)  Hukum Jual Beli TV.

Merupakan kaedah yang tetap bahwa jika suatu perkara telah diharamkan dalam syari’at ini maka penjualan dan pembeliannya pun haram. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam sabdanya ketika seseorang ingin menjual khomr:

«إِنَّ الَّذِيْ حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرّمَ بَيْعَهَا»

“Sesungguhnya Dzat yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan penjualannya.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas ب)

Dalam riwayat yang lain Beliau bersabda:

«وَإِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ شَيْئًا، حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ «

“Sesungguhnya Alloh jika mengharamkan sesuatu kepada suatu kaum, (Alloh juga) mengharamkan harganya.” (HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas ب dan dishohihkan oleh Syaikh muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad: 650)

Jika kita telah tahu kaedah ini tentu kita akan tahu bahwa penjualan dan pembelian TV adalah haram.

Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah
seputar permasalahan ini:
Syaikh Al-Albaniy rahimahulloh ditanya tentang hukum menjual TV.

Beliau menjawab:

“Bagiku jawabannya sangatlah jelas bahwa hal itu tidak boleh, karena dengannya dia berarti telah membantu si pembeli untuk melakukan perusakan di muka bumi. Ditambah lagi bahwa alat apa saja yang dilarang penggunaannya secara syar’i, maka dilarang pula penjualannya. Solusi satu-satunya adalah dihancurkan dan dipecahkan.
Jika seseorang mengatakan: “Berarti dengan ini kita telah menyia-nyiakan harta?!”

Beliau menjawab lagi: “Barang tersebut tidak mungkin ada di rumah seorang muslim, kecuali digunakan untuk perkara-perkara yang diharamkan Alloh, karena dahsyatnya fitnah yang ditimbulkannya. Saya secara pribadi berkeyakinan bahwa televisi adalah alat yang paling dahsyat dan berbahaya fitnahnya serta paling banyak kerusakannya. Alat ini juga merupakan alat yang paling banyak melalaikan seorang muslim dari menunaikan kewajiban-kewajibannya.” (Kaset ke-42 dari ‘Silsilah Huda wan Nur‘)
Al-lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts wal Ifta’ (Lembaga Penelitian Ilmiah dan Fatwa) telah ditanya mengenai permasalahan ini yang bunyinya sebagai berikut:

“Saya seorang pemilik toko video yang menjual dan menyewakan kaset-kaset film barat, india, dan arab. Semua film-film tersebut menampilkan tontonan yang di dalamnya para wanita yang tidak berhijab, bahkan sebagiannya mirip telanjang. Demikian pula campur baur antara laki-laki dan perempuan. Bahkan terkadang dipertontonkan seorang laki-laki mencium perempuan. Juga ada musik, nyanyian dan taria-tarian para wanita di dalamnya…serta lain-lainnya dari film-film yang menampilkan kekerasan dan kejahatan yang juga tidak lepas dari hal-hal yang tersebut di atas. Pada suatu hari datang seorang pemuda yang mustaqim dan mengabariku bahwa pekerjaanku ini tidak boleh dan haram. Dia juga mengatakan bahwa  dengan sebab pekerjaanku ini aku telah menghancurkan agama dan aqidah serta uang hasil dari usahaku ini adalah uang haram. Dia berkata: “Kamu wajib untuk meninggalkan usahamu ini!” Kemudian dia pergi.

Ketika aku pulang ke rumah aku tetapkan untuk menulis surat kepada kalian, sebab kalian adalah sebaik-baik orang yang kupercayai. Dan karena saya tahu dari segenap manusia bahwa engkau adalah imam yang paling berilmu pada zaman ini. Oleh karena itu saya berharap agar kalian segera memberikan fatwa kepadaku tentang permasalahan ini, karena saat ini saya terus-menerus dalam keadaan resah. Semoga Alloh menjaga kalian semua dari segala perkara yang diharamkan Alloh.

Jawab:

“Apa-apa yang dikatakan oleh pemuda yang menasehatimu itu benar. Wajib bagimu untuk meninggalkan segala perkara yang diharamkan Alloh Ta’ala.

وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

(Ketua: Abdul Aziz bin Abdulloh bin Bazz, wakil: ‘Abdurrozzaq ‘Afifi, anggota: ‘Abdulloh bin Ghudayyan. Fatwa no. 13914).

(4)   Hukum berdakwah dengan TV.

Dakwah merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Oleh karena itu merupakan suatu yang mustahil jika Alloh dan Rosul-Nya tidak menjelaskan perkara yang penting ini kepada umatnya. Sehingga tidaklah mungkin terluputkan dari bimbingan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam penjelasan mengenai bagaimana cara dakwah yang benar.

Secara garis besar cara dakwah yang syar’i terbagi menjadi dua:

Pertama; cara dakwah yang disyariatkan baik secara asalnya maupun sifatnya. Cara inilah yang ditempuh oleh para nabi dan para shohabat dalam berdakwah kepada Alloh yang berupa jihad dan kajian serta penulisan surat-surat. Demikian pula khutbah dan yang sejenisnya.

Kedua; cara dakwah yang secara jenisnya disyariatkan walaupun dari sisi sifatnya tidak ada penjelasan yang tegas dari syariat, seperti dakwah dengan mengarang kitab-kitab dan tulisan-tulisan atau yang sejenisnya.

Adapun cara dakwah yang keluar dari kedua jenis ini, maka sudah dipastikan bahwa cara tersebut tidaklah disyariatkan atau dengan kata lain bid’ah. Terlebih lagi jika cara tersebut mengandung kemungkaran dan mengakibatkan kerusakan yang besar, tentunya syari’at yang mulia ini tidak akan mungkin mengijinkannya.
Fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah
seputar permasalahan ini:
Syaikh Ibnu Bazz rahimahulloh ditanya:

“Apa hukum pengajaran memandikan mayit dan mengkafaninya melalui video?”

Beliau menjawab: “Pengajaran itu hendaknya dengan selain video, karena adanya hadits-hadits yang banyak dan shohih tentang larangan untuk menggambar makhluk yang bernyawa dan hadits-hadits yang berisi laknat bagi orang-orang yang menggambar makhluk bernyawa.” (Asilah Al-Jam’iyah Al-Khoiriyah bi Syaqro’)
Syaikh Muqbil rahimahulloh ditanya:

“Apa batasan-batasan diperbolehkan masuknya seorang da’i  dalam televisi, apakah hal itu hukumnya haram secara mutlak?”

Beliau menjawab: “Apakah seseorang mampu untuk mengatakan semua yang dia inginkan di TV?! Ataukah jika engkau mengatakan perkataan yang menyelisihi hawa nafsu orang-orang yang berkecimpung dalam perpolitikan maka mereka tidak akan menyebarkannya?! Permasalahannya bukanlah masalah ‘menurutku perkara ini baik’, bukan pula (kembali) pada pemikiran (manusia). Sebab di TV itu ada gambar-gambar makhluk yang bernyawa. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

«لا تدخل الملائكة بيتًا فيه كلب ولا صورة».

“Malaikat tidak akan masuk rumah yang ada di dalamnya anjing dan gambar makhluk yang bernyawa”

Di TV (seorang laki-laki) akan melihat perempuan, dan perempuanpun melihat laki-laki, padahal Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

« كُتِبَ عَلَى ابْن آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكُ ذَلِكَ لا مَحَالَةَ: العَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِناهُ الكَلاَمُ، وَاليَدُ زِنَاهَا البَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الخُطَا، والقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ ».

“Telah ditulis pada anak Adam bagian zina padanya, dia tidak boleh tidak pasti akan mendapatkannya. Kedua mata zinanya dengan melihat, kedua telinga zinanya dengan mendengar, lisan zinanya dengan berbicara, tangan zinanya dengan menyentuh, kaki zinanya dengan berjalan, dan hati itu berkeinginan serta berangan-angan, dan kemaluannyalah yang akan membenarkan atau mendustakannya”. (Muttafaqun’alaih, dan ini adalah lafadz Muslim)

Keberkahan itu berasal dari Alloh, terkadang sekelumit kalimat yang disampaikan dalam majelis kecil, Alloh jadikan bermanfaat bagi para hamba dan negara-negara. Tersebar sampai amerika, inggris dan Negara-negara lainnya. (Dan sebaliknya) betapa banyak kalimat yang diulang-ulang melalui media-media massa tetapi akhirnya hanyalah (seperti) ‘dengungan pasar’ tidak ada buahnya! Dan tidak ada faidahnya!!

«فنحن مأمورون بالاستقامة، وألا نرتكب المعاصي من أجل إصلاح غيرنا»

Kita diperintahkan untuk istiqomah dan diperintahkan untuk tidak melakukan kemungkaran demi memperbaiki orang lain:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imron: 104)

Kenapa mereka tidak menyampaikannya lewat siaran radio saja, dan berbicara pada (siaran) itu apa-apa yang ingin dikatakannya di TV?! Yang disayangkan adalah adanya sebagian ulama yang ikut saja dengan kemauan masyarakat dan mengekor di belakang mereka. Sesuatu yang halal adalah yang dihalalkan masyarakat, dan haram adalah yang diharamkan masyarakat. Maka wajib bagi para ulama agar jangan meninggalkan ilmu untuk kejahilan, dan sunnah untuk bid’ah.” [Tuhfatulmujib: 202]
Syaikh Sholeh Al-Fauzan rahimahulloh ditanya:

“Apa hukum menggunakan video dan sinema serta peralatan lainnya sebagai sarana pendidikan untuk menyampaikan pelajaran-pelajaran syar’i seperti fiqih, tafsir dan yang lainnya? Apakah yang demikian ini ada larangannya secara syar’i?”

Beliau menjawab: “Yang saya ketahui, perkara yang demikian itu tidak boleh. Sebab, semua itu pasti berhubungan dengan masalah menggambar makhluk bernyawa, padahal perbuatan ini hukumnya haram. Di samping itu, tidak ada unsur darurat yang mengharuskan seseorang untuk melanggar larangan itu.” (Al-Muntaqo: 513)
Al-lajnah Ad-da’imah lilbuhuts wal Ifta’ (Lembaga Penelitian Ilmiah dan Fatwa) telah ditanya:

Tentang hokum dakwah melalui majalah-majalah dengan menyebarkan foto-foto orang yang sholat atau wudhu atau foto anak-anak yang sedang membaca Al-Qur’an sehingga menimbulkan ketertarikan manusia untuk mempelajari Islam.

Jawab:

“Foto (gambar) makhluk yang bernyawa hukumnya haram, baik itu gambar manusia atau hewan-hewan. Sama saja apakah gambar itu gambar orang yang sedang sholat atau membaca Qur’an atau yang lainnya. Sebab, telah tetap pengharamannya berdasarkan hadits-hadits yang shohih. Oleh karena itu, tidak boleh menyebarkan gambar-gambar (foto-foto) makhluk yang bernyawa di koran-koran, majalah atau tulisan-tulisan lainnya. Walaupun itu gambar kaum muslimin, orang-orang yang sedang berwudhu atau sedang sholat dengan tujuan untuk menyebarkan Islam dan mendorong agar mau mempelajari dan masuk Islam. Sebab, tidak boleh mengambil perkara-perkara yang haram sebagai sarana untuk menyampaikan dan menyebarkan Islam. Sarana-sarana dakwah yang syar’i itu banyak, tidak  boleh kita meninggalkannya dan mencari cara lain yang diharamkan Alloh.

Adapun adanya ‘shuroh’ di negeri-negeri Islam bukanlah hujjah yang menunjukkan bolehnya hal tersebut.  Bahkan itu merupakan kemungkaran berdasarkan dalil-dalil shohih yang seharusnya diingkari.”

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.

(Ketua: Abdul Aziz bin Abdulloh bin Bazz, wakil: ‘Abdurrozzaq ‘Afifi, anggota: ‘Abdulloh bin Ghudayyan dan Abdullah Qu’ud. Fatwa no. 2955).

PERINGATAN !!
Sebagian orang berdalil tentang bolehnya foto dan bolehnya berdakwah lewat TV dengan munculnya para ulama Sunnah di layar kaca. Hal ini telah dibantah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahulloh dalam fatwa beliau:

“Munculnya gambarku bukanlah dalil bahwa aku membolehkannya. Bukan pula dalil bahwa aku ridho dengan perbuatan tersebut. Sebab, sesungguhnya aku tidaklah tahu kalau mereka itu memotretku!” (Fatwa Al lajnah: 1 / 460)

BAB V
Merobohkan Syubhat yang Lemah
dari Orang-orang yang Membolehkan TV Masuk Rumah

Setelah kita lewati penjelasan tentang hukum TV dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang shohih dan fatwa-fatwa ulama yang terpercaya, tibalah saatnya untuk mengomentari fatwa tentang bolehnya membeli TV yang dikeluarkan oleh Ubaid Al Jabiri dan disetujui oleh da’i muqollid Dzul Qornain. Fatwa batil yang telah menjerumuskan banyak keluarga salafy ke dalam kemaksiatan.

Berikut ini nukilan perkataan Dzul Qornain sebagaimana yang kami dengar dari rekaman ceramahnya:

“Diantara suatu hal yang sangat indah, pernah suatu hari Guru kami, salah seorang ulama besar di kota Madinah namanya Syaikh Ubaid Al-Jabiriy. Beliau ditanya tentang sebuah keluarga. Keluarga ini ayah dan ibunya masya Alloh –multazim-, tetapi anak-anaknya, karena bergaul dengan tetangga -tetangganya semua punya TV dan parabola-, akhirnya anak-anaknya sering hilang dari rumah, nongkrong di rumah tetangganya. Maka muncul pertanyaan kepada Syaikh:

“Apakah boleh orang ini memasukkan TV ke rumahnya agar supaya anak-anaknya ini tidak keluyuran sana-sini, sehingga acara TV dia kontrol untuk memperkecil kejelekan.”

Maka Syaikh memperbolehkan hal tersebut untuk memperkecil kejelekan. Hal ini adalah hal yang baik, bentuk dari bijaksana dalam bersikap, tetapi kalau seseorang mampu untuk lepas dari kejelekan seluruhnya, tentunya ini yang didahulukan.”
Download audio nya disini

Jawab:

Hendaknya sebelum menerapkan kaedah, seseorang memahani dahulu dengan benar kaedah tersebut beserta syarat-syaratnya sehingga tidak keliru dalam menerapkan.

Selain itu, sangat penting untuk diketahui bahwa suatu kaedah bukanlah dalil yang dengannya dibangun suatu hukum. Akan tetapi kaedah itulah yang membutuhkan dalil. Jadi, apabila suatu kaedah telah diketahui kebenarannya dan disepakati ulama, tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. Kapan saja terjadi pertentangan antara keduanya, berarti di sana pasti ada kesalahan baik dari sisi keabsahan kaedah atau kekeliruan dalam penerapannya.

Agar kita bisa mengetahui dengan gamblang kesalahan fatal dari fatwa di atas, mari sejenak kita pahami kaedah taqlilusy-syarr (memperkecil kejelekan) yang dijadikan dasar da’i Dzul Qornain dan guru besarnya.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya Nabi telah mensyariatkan kepada umatnya kewajiban untuk mengingkari kemungkaran agar dihasilkan dengan pengingkaran itu kebaikan yang dicintai oleh Alloh dan Rosul-Nya. Apabila pengingkaran terhadap suatu kemungkaran akan melahirkan kemungkaran lebih besar dan lebih dimurkai Alloh dan Rosul-Nya, maka yang seperti ini tidaklah diperbolehkan, walaupun Alloh membenci kemungkaran tersebut serta memurkai pelakunya.”

Beliau berkata lagi: “Ingkarul mungkar itu ada empat tingkatan: pertama, menghilangkan kemungkaran dan menggantinya dengan kebalikannya. Kedua, memperkecil kemungkaran yang ada walaupun tidak bisa menghilangkannya secara keseluruhan. Ketiga, mengganti kemungkaran dengan kemungkaran semisalnya. Keempat, mengganti kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar.

Adapun tingkatan pertama dan kedua adalah bentuk pengingkaran yang disyariatkan. Tingkatan ketiga kembali kepada ijtihad seseorang. Sedangkan tingkatan keempat hukumnya haram.” (I’lamul Muwaqqi’in: 3/ 6 – 8)

Pokok pembahasan kita adalah tingkatan yang kedua yaitu usaha untuk memperkecil kemungkaran dan kejelekan ketika tidak ada kemampuan untuk menghilangkannya.

Agar lebih mudah dalam memahami kaidah ini, berikut ini contoh-contoh penerapan kaedah secara benar yang disebutkan oleh para ulama:
Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam berkeinginan untuk mengembalikan Ka’bah ke tempat yang dibangun oleh Ibrohim, tetapi keinginan tersebut tidak dilakukan beliau karena akan menimbulkan mafsadah yang besar. Akhirnya beliau membiarkan Ka’bah sebagaimana adanya sebagai bentuk taqlilusy-syarr (memperkecil kejelekan)
Syaikh Ibnu Baz t berkata:

“Merupakan kaedah syar’i yang telah disepakati:

«أنه لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه, بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه»

‘Tidak boleh menghilangkan suatu kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar, bahkan wajib untuk mencegah dan menolak kemungkaran dengan sesuatu yang akan menghilangkannya atau meringankannya.’

Adapun menolak kejelekan dengan kejelekan yang lebih besar tidaklah boleh berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Apabila kelompok yang ingin menghilangkan kepala negara yang melakukan perbuatan kekafiran secara jelas memiliki kemampuan untuk menghilangkannya dan mampu untuk menempatkan pengganti yang sholeh dan baik tanpa mengakibatkan kerusakan yang besar pada kaum muslimin dan tidak menimbulkan kejelekan yang lebih besar dari kejelekan penguasa (yang kafir itu), maka tidak apa-apa (untuk menggulingkannya). Adapun jika penggulingan kekuasaan tersebut mengakibatkan kerusakan yang besar, hilangnya keamanan, pendzoliman terhadap manusia dan pembunuhan gelap orang-orang yang tidak pantas untuk dibunuh…serta kerusakan-kerusakan besar lainnya, maka yang seperti ini tidaklah boleh. Bahkan wajib (bagi rakyat) untuk bersabar, mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, menasehati para penguasa dan mendakwahi mereka dengan baik serta bersungguh-sungguh dalam usaha memperingan dan memperkecil kejelekan, serta usaha memperbanyak kebaikan. Inilah jalan yang wajib untuk ditempuh karena padanya terdapat kebaikan yang mencakup kaum muslimin pada umumnya. Dengannya diperkecil kejelekan dan diperbanyak kebaikan. Padanya juga terdapat penjagaan keamanan dan keselamatan kaum muslimin dari kejelekan yang lebih besar . (Majmu’ Fatawa Ibni Baz: 8/ 384)
Pada peristiwa perang teluk, para ulama menfatwakan bolehnya mempergunakan kekuatan orang kuffar untuk memperkecil kerusakan yang ditimbulkan Irak, padahal keduanya ada mafsadahnya. Akan tetapi kerusakan yang akan ditimbulkan Iraq lebih dahsyat. Selain itu, menggunakan bantuan kuffar adalah perkara yang diperbolehkan selama hal tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Setelah  dipahami penjelasan di atas beserta contoh-contoh yang disebutkan oleh ulama, ketahuilah bahwa fatwa ‘bijaksana’ Ubaid Al-Jabiri yang disetujui da’i Dzul Qornain adalah fatwa yang batil dan mungkar dari berbagai sisi sebagai berikut:
Kelemahan dalam mengingkari kemungkaran.

Seseorang dalam mengingkari kemungkaran tidaklah boleh berpindah pada tingkatan kedua, kecuali jika tidak bisa melakukan tingkatan yang pertama.

Oleh karena itu sudah sewajibnya bagi ‘Ubaid dan Dzul Qornain untuk menunjukkan jalan pertama sebelum berpindah pada tingkatan yang lebih rendah. Sebab keumuman orang tua mempunyai kemampuan untuk mencegah anak-anaknya. Bahkan syariat telah mengijinkan untuk memukul si anak bila mereka meninggalkan perintah atau melanggar larangan. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

«مُرُوا أوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أبْنَاءُ سَبْعِ سِنينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا ، وَهُمْ أبْنَاءُ عَشْرٍ ».

“Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk sholat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) pada umur sepuluh tahun.” (HR. Abu Dawud dari Abdulloh bin ‘Amr bin ‘Ash disahihkan oleh Syaikh Al-Albani di Al-Irwa’ no: 247)

Demikian pula dalam kasus Ubaid ini, orang tua hendaknya memberi nasehat dengan sekuat tenaga agar anak-anak tahu hukum TV dan kerusakan-kerusakan yang ada disertai dengan do’a semoga Alloh memberikan hidayah kepada mereka. Inilah yang diperintahkan Alloh kepada orang tua. Bukanlah tanggung jawab mereka jika anak-anaknya membandel dan tidak menerima nasehat, atau masih tetap saja menonton di tempat teman-temannya. Sebab hidayah itu hanyalah dari Alloh. Tidak pula menghalangi orang tua untuk mengingkari kemungkaran yang dilakukan anak-anak, umur mereka yang telah besar atau banyaknya perkara-perkara yang menghalangi diterimanya nasehat.

Ketahuilah -semoga Alloh memperbaiki keadaan kita semua- bahwa inilah hakekat ujian yang karenanya Alloh sebut anak-anak itu sebagai ‘fitnah’. Jika para orang tua telah melakukan apa-apa yang Alloh perintahkan ini, dengan mendidik mereka agama, menerangkan mana yang diperintahkan Alloh dan mana yang dilarang Nya, gugurlah kewajiban dari mereka. Tidaklah tersisa kecuali tawakkal kepadaNya dan memohon agar Alloh memperbaiki keadaan anak-anaknya.

1- Ketidak pahaman mereka tentang kaedah ‘taqlilusy syarr’ sehingga salah dalam penerapannya.

Ketika seseorang berusaha untuk memperkecil kejelekan, tidaklah diperbolehkan baginya dengan alasan ini menjatuhkan diri dalam kemaksiatan. Bagaimana bisa masuk di akal, seseorang ingin mengingkari kemungkaran yang dilakukan orang lain dengan mengorbankan dirinya. Bukankah jika demikian, lebih baik baginya untuk diam dan sekedar mengingkarinya dalam hati yang ini merupakan selemah-lemah iman?! Sebab, Alloh U tidaklah membebani seseorang untuk berbuat kemaksiatan demi kebaikan orang lain. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

« مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ   أَضْعَفُ الإِيمَانِ ».

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan dan apabila tidak sanggup, maka ubahlah dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim: 219)

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Dalam ayat ini Alloh subhanahu wa ta’ala memerintahkan seseorang untuk menjaga dirinya terlebih dahulu dari api neraka, baru kemudian menyebutkan setelahnya keluarga. Alloh juga telah berfirman:

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqoroh: 195)

Imam Asy-Syafi’iy rahimahulloh mengatakan:

«رضى الناس غاية لا تدرك, فعليك بما فيه صلاح نفسك فالزمه»

“Keridhoan manusia adalah keinginan yang tidak akan pernah tercapai. Hendaknya kamu memperhatikan perkara-perkara yang mengantarkan kepada kebaikan dirimu kemudian peganglah erat-erat.” (Madarijussalikin: 2 / 301)

Syaikh Muqbil rahimahulloh mengatakan:

«فنحن مأمورون بالاستقامة، وألا نرتكب المعاصي من أجل إصلاح غيرنا»

“Kita diperintahkan untuk istiqomah dan diperintahkan untuk tidak melakukan kemungkaran demi memperbaiki orang lain”.

Mengada-adakan kaidah baru yang belum pernah dikenal sebelumnya.

Apabila yang dimaksud ‘Ubaid dan Dzul Qornain dengan taqlilusy-syar adalah kaedah:

« إذا تزاحم المفاسد يرتكب الأدنى«

‘Jika terkumpul banyak kerusakan, maka dipilih yang paling rendah kerusakannya’, sesungguhnya kaedah ini dipakai ketika ada kerusakan-kerusakan yang seseorang tidak bisa menghindari kerusakan tersebut secara keseluruhan. Sehingga dengan terpaksa (darurat) harus memilih kerusakan yang paling ringan. Sedangkan kasus ‘Ubaid tidaklah demikian, sebab kerusakan yang ada hanya pada satu pihak, yaitu keluyurannya anak-anak untuk nonton TV dan nongkrong di tempat tetangga.

Sesungguhnya yang wajib adalah menghilangkan atau memperkecil kerusakan dengan jalan yang syar’i. Bukan malah mendatangkan kerusakan baru yang belum ada sebelumnya. Kalau mengikuti fatwa ‘bijaksana’ Ubaid ini, maka kaedahnya akan menjadi seperti ini:

“Jika ada suatu kerusakan, maka buatlah kerusakan yang menurutmu lebih kecil tingkat kerusakannya.”

Kaedah yang seperti ini belum pernah didengar dan didapati dalam kitab-kitab ushul kecuali dari Ubaid dan muqollidnya Dzul Qornain .

Kesalahan dalam menentukan kemungkaran mana yang lebih besar.

Taruhlah Ubaid dan muqollidnya da’i Dzul Qornain benar dalam menerapkan kaedah, tinggal sekarang dilihat apakah kejelekan yang didatangkan oleh si ibu dengan membeli TV itu lebih kecil atau lebih besar dari kerusakan sebelumnya???
Kerusakan yang kembali kepada orang tua.
Dengan membeli TV berarti si ibu telah melakukan perbuatan yang dilarang syariat.
Dengan membeli TV, berarti dia telah memasukkan ke rumahnya kemungkaran yang dampaknya merata ke seluruh penghuni rumah, yang paling minimnya adalah tidak masuknya malaikat ke dalam rumah karena adanya shuroh di dalamnya. Padahal sebelumnya kemungkaran hanya terbatas pada anak-anak dan terjadi di luar rumah.
Dengan membeli TV, berarti dia telah menjadi penyebab terjadinya kemungkaran yang akan dilakukan anak-anak dengan menonton TV yang dibelinya itu. Dengan ini orang tua akan mendapatkan bagian dari dosa-dosa mereka sebagaimana kaedah:

«المتسبب كالمباشر»

“Penyebab itu hukumnya seperti orang yang melakukannya secara langsung”, padahal jika dia tidak membeli TV tidak akan terkena yang seperti ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam perkataan Dzul Qornain bahwa si orang tua akan mengontrol. Hal ini berarti bahwa orang tua tidak boleh tidak, juga harus melihat acara yang ada di TV.
Walaupun orang tua ‘multazim’ sebagaimana yang dikatakan Dzul Qornain, dia bukanlah orang yang ma’shum yang terjaga dari hawa nafsu dan kesalahan. Ditambah dengan kondisi TV yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy: “Alat yang paling dahsyat fitnahnya.” Akankah dengan semua ini si ibu itu merasa aman akan dirinya?!
Seseorang akan ditanya akan hartanya, untuk apa dia belanjakan. Demikian pula tentang amanah yang diberikan kepadanya yang berupa anak-anak. Bukankah lebih selamat bagi orang tua untuk menjawab:

“Ya Alloh, saya telah berusaha menasehati mereka dan menjelaskan kepada mereka tentang haramnya TV, tetapi mereka tetap melanggarnya dan terus menerus melakukannya.”

Daripada jawaban orang yang mengikuti fatwa Ubaid:

“Ya Alloh, harta yang Engkau rizqikan kepadaku, aku belikan TV yang telah Engkau haramkan, agar anak-anakku bisa nonton di rumah daripada mereka nonton di tempat tetangga. Sehingga karenanya akupun ikut menonton TV agar bisa mengontrol anak-anakku itu, padahal menonton TV itu haram menurut-Mu”

Renungkanlah!! Sebelum datang hari-hari yang tidak bermanfaat lagi tangis dan penyesalan!!
Kerusakan yang kembali kepada anak.
Dibelikannya TV akan mengakibatkan lemahnya keyakinan bahwa TV dan shuroh itu haram. Bahkan mungkin mereka akan meyakininya bahwa perkara itu boleh. Sebab, sekarang mereka akan menonton TV dengan legal dan ijin dari orang tua tanpa ada perasaan resah dan bersalah. Berbeda ketika mereka dilarang untuk menonton TV di tetangga tanpa dibelikan TV. Walaupun mungkin mereka tidak taati nasehat sang ibu dan tetap melanggar, minimal sekali mereka tahu bahwa perbuatan itu tidak diridhoi oleh Alloh dan orang tua mereka, sehingga mereka akan sembunyi-sembunyi serta malu jika diketahui oleh orang tua.

Orang yang mau mencermati poin ini, akan mendapatkan bahwa ini adalah sebuah kerusakan yang sangat besar, karena berhubungan dengan ‘aqidah si anak tentang suatu perkara apakah halal atau haram, apakah dosa atau biasa.
Adanya TV di rumah memungkinkan anak-anak untuk menonton TV lebih banyak. Sebab benda tersebut ada di dekat mereka dan di dalam rumah mereka, tanpa harus malu-malu ijin tetangga.

Kesimpulan:

Berdasarkan uraian di atas, semua orang yang masih berakal sehat tidak akan ragu sedikitpun bahwa membeli TV agar anak-anak menonton di rumah lebih besar kerusakan dan kemungkarannya, baik bagi orang tua sendiri atau anak-anaknya. Dengan ini pula diketahui kedangkalan pemahaman Ubaid dan pendeknya pandangan muqollidnya, Dzul Qornain.

Adapun Ubaid tidaklah mengherankan kami, karena memang dia bukanlah orang yang pantas untuk berfatwa. Telah banyak fatwa-fatwa batil yang dikeluarkannya, sehingga wajib bagi kaum muslimin untuk menjauhinya serta memperingatkan umat dari kesalahan-kesalahannya. Diantara kesalahan-kesalahan fatalnya adalah:
Fatwa tentang bolehnya pemilu.
Fatwa tentang bolehnya mengikuti pelajaran seni musik yang diwajibkan oleh sekolah dengan alasan ‘darurat’
Fatwa tentang bolehnya kerja di tempat yang ikhtilath, dengan alasan bahwa pekerjaan itu asalnya untuk laki-laki. Adapun para wanita yang kerja di situ, merekalah yang seharusnya keluar dari pekerjaan.
Fatwa tentang bolehnya menghilangkan sihir dengan sihir yang lain.
Fatwa yang menyatakan bahwa Birmingham adalah tempat untuk berhijrah, padahal kota ini berada di jantung negeri kafir.
Celaannya terhadap Imam Syu’bah t bahwa dia itu berlebih-lebihan dalam men-jarh, padahal para ulama baik yang dulu maupun sekarang sepakat tentang keimamannya dalam hadits.
Tahdzirannya terhadap Darul Hadits di Dammaj serta celaannya terhadap Syaikh Yahya s tanpa dalil.

Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah kenapa si Dzul Qornain menerima mentah-mentah fatwa yang seorang pelajar pemulapun mengetahui kebatilannya??!
Menyelisihi kaidah “Unsur darurat itu diberlakukan sesuai kadarnya”.

Dalam fatwa batil tersebut, si Ubaid demikian pula muqollidnya sama sekali tidak menyinggung sampai kapan TV itu boleh di rumah dan kapan harus dikeluarkan. Padahal sesuatu yang diharamkan oleh syariat tidaklah boleh dilanggar kecuali dalam keadaan darurat sebagaimana kaedah:

«الضرورة تبيح المحظورة»

“Keadaan darurat itu membolehkan (seseorang) untuk melakukan perbuatan yang dilarang.”

Keadaan darurat dalam kaedah ini mempunyai kadar (batas akhir) yang apabila telah terpenuhi kadar tersebut, tidaklah boleh bagi seseorang untuk melanggar perkara yang diharamkan.

Adapun fatwa si Ubaid tidaklah demikian, TV yang dibeli si Ibu itu boleh terus menerus ditonton dan terus menerus di dalam rumah, walaupun kejelekan yang semula ingin diperkecil tetap ada dan kejelekan yang timbul dari pembelian TV semakin besar.

Dua pilihan untuk Ubaid dan muqollidnya

Kesalahan fatal si Ubaid dan kecerobohan Dzul Qornain akan semakin jelas jika kita berikan kepadanya kasus sebagai berikut:

Seorang ibu punya anak yang suka minum khomr di bar dan tempat-tempat diskotik. Apakah boleh bagi si ibu ini untuk membelikan khomr agar si anak meminumnya di rumah dan tidak perlu pergi ke tempat-tempat maksiat itu, sebagai bentuk pengamalan kaedah taqlilusy-syarr?

Untuk menjawab kasus ini, si Ubaid hanya punya  dua kemungkinan:

Pertama, dia tidak membolehkan si ibu untuk membeli khomr tersebut. Dengan ini berarti si Ubaid tidak konsekuen dengan kaedahnya, yang semua ini menunjukkan bahwa fatwa bolehnya membeli TV sebagai bentuk taqlilusy-syarr adalah fatwa batil dan mungkar yang tidak boleh seorang muslim pun mengikutinya.

Kedua, dia membolehkan si ibu untuk membeli khomr sebagai bentuk pengamalan kaedah taqlilusy-syarr (model Ubaid). Dengan ini kita semakin yakin bahwa Ubaid memang tidak pantas untuk berfatwa. Tidak akan menyetujui fatwa ini kecuali orang yang telah hilang akalnya.

Saya kira kelima point ini cukup untuk membuktikan kemungkaran fatwa Ubaid. Oleh karena itu, wajib bagi Ubaid dan Dzul Qornain untuk segera bertaubat dari fatwa yang menyesatkan ini. Ingatlah bahwa kalian akan dimintai pertanggung-jawaban atas fatwa yang menjerumuskan banyak manusia dalam kemaksiatan ini.

Imam Asy-Syafi’i rahimahulloh mengatakan:

«فالواجبُ على العَالِمين أن لا يقولوا إلا من حيث علموا، وقد تكلَّم في العلم من لو أمسكَ عن بعضِ ما تكلم فيه منه لكان الإمساكُ أولى به، وأقْرَبَ من السلامة له إن شاء الله».

“Wajib bagi orang-orang yang berilmu untuk tidak berbicara kecuali perkara-perkara yang diketahuinya. Sungguh telah berbicara orang-orang tentang ilmu yang kalau seandainya dia mau mengekangnya dari berbicara tentangnya, maka hal itu lebih utama dan lebih dekat dengan keselamatan. Insya Alloh.” (Ar-Risalah no. 131-132)

Alloh subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

لِيَحْمِلُواْ أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُم بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلاَ سَاء مَا يَزِرُونَ

“Mereka akan memikul dosa-dosa mereka sendiri dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl: 25)

Demikian pula wajib bagi seluruh muslim yang tertipu dengan fatwa itu untuk segera bertaubat dan melepaskan diri darinya serta meninggalkan sifat taqlid.

Ibnul Qoyyim rahimahulloh mengatakan: “Diantara perkara yang hendaknya diketahui: bahwa dosa dan kemaksiatan itu membawa akibat buruk yang pasti adanya, dan akibat tersebut menyerang hati, seperti racun yang menyerang badan….Tidaklah ada kejelekan dan penyakit  di dunia ini dan di akhirat kecuali disebabkan oleh dosa-dosa dan kemaksiatan. (Ad Daa’ wad Dawaa’: 53)

Kebenaran itu bersama dalil! Alloh telah berfirman:

اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya [yang membawamu kepada kesesatan]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya). (Al-A’raaf: 3)

Ingatlah bahwa orang-orang yang kalian ikuti itu tidak akan memberikan manfaat sedikit pun ketika kalian berdiri di hadapan Alloh untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan kalian.

øŒÎ) r&§t7s? tûïÏ%©!$# (#qãèÎ7›?$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qãèt7¨?$# (#ãrr&u‘ur z>#x‹yèø9$# ôMyè©Üs)s?ur ãNÎgÎ/ Ü>$t7ó™F{$# ÇÊÏÏÈ   tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#qãèt7¨?$# öqs9 žcr& $oYs9 Zo§x. r&§t6oKoYsù öNåk÷]ÏB $yJx. (#râ䧍t7s? $¨ZÏB 3 y7Ï9ºx‹x. ÞOÎgƒÌãƒ ª!$# öNßgn=»yJôãr& BNºuŽy£ym öNÍköŽn=tæ ( $tBur Nèd tûüÅ_̍»y‚Î/ z`ÏB Í‘$¨Y9$# ÇÊÏÐÈ

“Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (QS. Al-Baqoroh: 166-167)
BAB VI
Nasehat Emas Syaikh Ibnul ‘Utsaimin

Nasehat Pertama

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahulloh berkata:

“Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ الله رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»

“Tidaklah seorang hamba diberi (wewenang) untuk mengatur kemudian dia mati dalam keadaan menghianati orang-orang yang diaturnya kecuali Alloh akan haramkan dia (untuk masuk) jannah”. (HR. Muslim: 142)

Pengaturan yang dimaksudkan dalam hadits ini mencakup pengaturan dalam ruang lingkup besar dan luas maupun pengaturan yang ruang lingkupnya kecil. Mencakup pula pengaturan seseorang dalam keluarganya sebagaimana perkataan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam :

«الرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ, وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

“Laki-laki itu sebagai pengatur dalam keluarganya dan akan ditanya tentang pengaturannya itu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Berdasarkan hadits ini, barangsiapa yang mati dan meninggalkan di rumahnya parabola (termasuk juga pemancar TV-pen), maka sesungguhnya dia telah mati dalam keadaan berhianat terhadap keluarganya, sehingga dengan sebabnya dia akan diharamkan untuk masuk jannah, sebagaimana yang termaktub dalam hadits di atas.

Dengan ini pula kami katakan bahwasanya maksiat apa saja yang merupakan dampak dari adanya parabola yang dipasang oleh seseorang sebelum matinya, maka sesungguhnya dia akan mendapatkan dosanya walaupun dia telah mati, meskipun waktunya telah lama dan maksiat (yang terjadi karenanya) bertumpuk-tumpuk.

Wahai saudaraku muslim, berhati-hatilah! janganlah sampai engkau meninggalkan peninggalan yang akan mendatangkan dosa di alam kuburmu.

Adapun jika kamu memiliki parabola di rumahmu, maka wajib bagimu untuk menghancurkannya, karena alat ini tidaklah dipergunakan kecuali untuk sesuatu yang haram. Tidaklah mungkin bagimu untuk menjualnya, karena jika engkau jual kepada seseorang berarti engkau telah memberikan kesempatan kepada pembeli itu untuk mempergunakannya dalam kemaksiatan kepada Alloh, sehingga dengan ini kamu berarti telah membantunya dalam dosa dan kemungkaran. Tidak ada jalan untuk bertaubat darinya sebelum kematiannya kecuali dengan menghancurkan alat tersebut. Alat yang dengan sebabnya terjadi kejelekan dan bencana yang telah diketahui oleh seluruh kalangan, baik secara umum maupun khusus.

Berhati-hatilah…berhati-hatilah…karena sesungguhnya dosanya akan bertumpuk-tumpuk padamu dan akan terus mengalir setelah matimu.

Kita memohon kepada Alloh keselamatan dan memohon agar memberikan hidayah-Nya kepada kita dan saudara-saudara kita kaum muslimin untuk berjalan di atas jalan-Nya yang lurus. Kita memohon kepada-Nya agar melindungi dan menjaga kita dari ketergelinciran, sesungguhnya Dia adalah Dzat yang Maha Pemurah.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين,

والحمدلله رب العالمين.

[Tulisan ini adalah cuplikan dari khutbah kedua yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin pada hari Jum'at 25 Robi'ul Awwal 1417H. Beliau berkata: "Aku tidak melarang untuk disebar. Semoga Alloh memberikan manfaat padanya." Ditulis oleh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, 28-3-1417.]
Nasehat Kedua

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahulloh berkata ketika menjelaskan hadits:

«اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ»

“Demikianlah, segala sesuatu yang seseorang telah meninggalkannya karena Alloh tidak boleh dia kembali kepadanya. Diantaranya adalah perbuatan yang dilakukan oleh banyak manusia yang telah Alloh berikan taufiq kepada mereka, berupa pengeluaran TV dari rumah-rumah mereka, sebagai bentuk taubat kepada Alloh dan untuk menjauhkan diri dari perkara yang padanya terkandung berbagai kejelekan.

Orang-orang itu mengatakan: “Apakah boleh kami memasukkannya kembali ke dalam rumah?”

Kami katakan: “Tidak boleh, tidak boleh (kalian melakukannya) setelah kalian mengeluarkan TV itu karena Alloh! Sebab, seseorang jika telah meninggalkan sesuatu karena Alloh tidak boleh kembali lagi kepadanya” [Syarh Riyadhus Sholihin]
Khotimah

Setelah kita lewati penjelasan-penjelasan terdahulu, ketahuilah -semoga Alloh U memberikan taufik kepada kita semua- apabila engkau termasuk pengguna televisi atau alat-alat lain yang sejenis dan engkau telah membaca semua penjelasan yang telah lalu, maka padamu ada tiga pilihan:

Pertama; apabila telah jelas bagimu keharaman alat ini sebagaimana yang telah lalu penjelasannya, maka bersyukurlah kepada Alloh atas hidayah dan taufik-Nya yang diberikan kepadamu serta bersegeralah untuk meninggalkannya dan berlepas diri dari kemungkaran itu dan memintalah kepada Alloh untuk dikokohkan dalam menempuh jalan-Nya yang lurus, sebab godaan itu akan terus ada dan syubhat-syubhat akan terus disebarkan.

Kedua; apabila keadaanmu sebelum membaca dalil-dalil yang disebutkan terdahulu dan keadaanmu setelah membacanya sama saja, serta belum jelas bagimu haramnya televisi atau yang sejenisnya, maka cermatilah kembali dan ulangilah penjelasan demi penjelasan, serta mintalah kepada Alloh taufik dan hidayahNya. Sebab hanya Alloh lah yang bisa memberikannya. Kemudian berdo’alah dengan do’a yang Rosululloh tuntunkan:

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ,

أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ, اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ,

إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  .

“Ya Alloh, Rabb-nya malaikat Jibril, Mikail, dan Isrofil, Dzat yang telah menciptakan langit-langit dan bumi, Dzat yang maha mengetahui perkara ghoib dan yang nampak, Engkaulah yang memutuskan diantara hamba-hambaMu perkara-perkara yang mereka perselisihkan, berilah petunjuk kepadaku dengan izinMu kepada al-haq dalam perkara yang  sedang diperselisihkan. Sesungguhnya Engkau akan memberi petunjuk siapa saja yang Engkau kehendaki.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah ل)

Jika engkau telah mengamalkan semua ini dengan kejujuran dan keikhlasan, sesungguhnya Alloh tidaklah akan menyia-nyiakanmu.

Ketiga; apabila dalil-dalil yang saya sebutkan menjadikanmu ragu dan syubhat masih tetap kuat padamu, serta tidak memugkinkanmu untuk menyatakan keharamannya, bahkan engkau cenderung untuk membolehkannya, maka kemungkinan terkecil yang ada padamu adalah jadinya perkara tersebut sebagai sesuatu yang meragukan. Menurut kaedah dalam syariat kita bahwa perkara-perkara yang meragukan dituntut untuk ditinggalkan sebagaimana perkataan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam:

«فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ, وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ»

“Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang meragukan sungguh dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, barangsiapa yang jatuh dalam perkara yang meragukan sungguh dia telah jatuh dalam perkara yang haram.” (Muttafaqun’alaih)

Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Alloh memberikan hidayah kepadamu, bahwasanya keselamatan di hari kiamat tidaklah ada bandingannya. Ingatlah bahwasanya engkau tidaklah akan ditanya seandainya kamu meninggalkan televisi itu, kenapa engkau meninggalkannya. Akan tetapi engkau akan ditanya kenapa engkau membiarkannya dan tidak meninggalkannya setelah jelas dalil-dalil keharamannya?! Persiapkanlah jawabannya dan renungkanlah jalan keluarnya sebelum datang penyesalan yang tidak bermanfaat bagimu. Wallohul musta’an.

سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

Maroji’ Terpenting

Al Qur’anulkarim
Tafsir Ibnu Katsir
Shohih Al-Bukhoriy
Shohih Muslim
Fathul Bariy, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy
Syarh Muslim, Yahya bin Syarof An Nawawiy
Ash-Shohihul Musnad mimma laisa Fish Shohihain, Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy
Musnad Ash-Shohabah fi Kutubis Tis’ah, Hamid Yusuf Tsauman
Ash-Shohihah, Al-Albaniy
Irwaul gholil, Al-Albaniy
Iqtidho’ Shirothol Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Madarijussalikin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
Miftah Daris Sa’adah, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
Majmu’ Fatawa libni Baz, ‘Adul ‘Aziz bin Baz
Fatawa Al Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’
Syarh Riyadhis Sholihin, Muhammad Sholeh Al-’Utsaimin
Al Mushoro’ah, Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy
Tuhfatul Mujib, Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy
Ar Risalah, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy
Al-Qowa’id Al-Jami’ah, As-Sa’diy
I’anatul Mustafid, Sholeh bin Fauzan
Syarh Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah, Abdulloh Al-Khoulaniy
Mausu’ah Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah, Muhammad Ash-Shodfiy Al-Burnu.
Tashwirul Masyayikh bil video la Yajuz, Nashir bin hamd Al-Fahd
Al- Ibroz li Aqwalil ‘Ulama fi hukmi At Tilvaz, Luqman bin Abil Qosim Al-Ajuriy
At-Tamtsil, Haqiqotuhu, Tarikhuhu, hukmuhu, Bakar Abu Zaid

[1] Untuk selanjutnya terkadang penulis akan menggunakan istilah ‘shuroh’  agar lebih ringkas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SENANG SEKALI JIKA ADA KRITIK DAN SARAN